Ilustrasi
(Pixabay)
|
JAKARTA - Klorokuin saat ini dijadikan sebagai obat Covid-19.
Beredar di masyarakat bahwa klorokuin merupakan obat malaria yang masih
digunakan. Padahal, obat tersebut sudah tidak lagi digunakan untuk pengobatan
malaria.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan
Zoonosis, dr. Siti Nadia Tirmizi khawatir masyarakat akan menggunakan klorokuin
untuk pengobatan Covid-19 secara berlebihan.
“Nanti otomatis kalau dia minum klorokuin karena
dugaan awalnya Covid-19 tapi sebenarnya penyakitnya malaria, pasti demamnya
akan turun sedikit tapi malarianya gak keobati, malah akan menjadi resisten
malaria” katanya di Gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat (3/4/2020) dilansir dari
laman resmi kementerian Kesehatan RI, Kemkes.go.id.
Untuk penggunaan Covid-19, lanjutnya, tidak bisa hanya
klorokuin saja tapi harus dibarengi obat lain seperti oseltamivir. Ia
menekankan bahwa klorokuin sudah tidak lagi digunakan sebagai obat malaria
karena terjadi resistensi terhadap penyakit tersebut.
Sekitar 2009-2010 klorokuin bisa dijual bebas, sebagai
akibatnya resistensi yang sangat tinggi terhadap penggunaan klorokuin terutama
pada penderita malaria. Kondisinya saat itu setiap kali orang merasa demam
langsung mengonsumsi klorokuin, akibatnya demam hilang namun terjadi resistensi
malaria.
“Kita khawatir, walaupun saat ini sedang pandemic
Covid-19 tapi jangan sampai target kita mencapai eliminasi malaria pada tahun
2030 tidak tercapai,” ujarnya.
Klorokuin sendiri sudah tidak masuk ke dalam
pengobatan malaria, artinya klorokuin masih digunakan untuk obat-obat dengan
penyakit lupus. Klorokuin sendiri sudah dihapus dari Daftar Obat Esensial
(DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas) untuk obat malaria sejak tahun 2010.
“Jadi memang ini yang menjadi konsen kami, walaupun
klorokuin masih ada dalam jumlah terbatas tapi memang sudah peruntukannya untuk
penyakit lupus dan berbeda dosisnya dengan pengobatan malaria,” kata dr. Nadia.
Obat malaria yang digunakan saat ini adalah
Dihidroartemisinin piperakuin (DHP) dengan Primakuin. Pada 2011 Badan POM sudah
menyepakati klorokuin tidak lagi digunakan untuk pengobatan malaria. Bahkan
pada leaflet klorokuin sudah dinyatakan indikasinya tidak untuk malaria.
Prinsipnya penggunaan klorokuin yang tidak sesuai
peruntukannya akan berpotensi menyebabkan resistensi terhadap malaria. Sehingga
eliminasi Malaria 2030 tidak tercapai.
“Posisi sekarang ada 214 kabupaten/kota yang belum
mencapai eliminasi, yang sudah eliminasi 300 kabupaten/kota. Takutnya dengan
kondisi Covid-19 ini untuk daerah yang belum mencapai eliminasi dan memang
cenderung bahwa penyakit utamanya adalah malaria dan bukan karena Covid-19
tidak terjadi eliminasi malaria. Ini yang harus diwaspadai,” tegasnya.
(Redaksi)
0Comments